Jiwa.. Perang Terhadap Kaum Sufi -Muda Dan Karomahnya
Ketika Ghulam Khalil menyatakan perang terhadap para sufi, ia pergi menghadap khalifah dan mencela mereka.
“Orang-orang telah menyaksikan beberapa kelompok sufi berdendang-dendang, menari-nari dan menghujjah Allah. Sepanjang hari mereka berjalan hilir mudik, dan di malam hari mereka bersembunyi di dalam kuburan-kuburan di bawah tanah, dan berkhotbah. Sufi-sufi ini adalah manusia-manusia bid’ah. Seandainya pangeran kaum Muslimin bersedia mengeluarkan perintah agar sufi-sufi ini dibunuh, niscaya doktrin bid’ah akan musnah, karena sesungguhnya mereka itulah pemimpin-pemimpin para bid’ah. Jika hal ini dilakukan oleh pangeran kaum Muslimin, aku jamin bahwa ia akan memperoleh pahala yang berlimpah.”
Khalifah segera memerintahkan agar Abul Hamzah, Raqqam, as-Syibli, Abul Hasan an-Nuri dan Junaid al-Baghdadi dibawa ke hadapannya. Setelah semuanya berkumpul, khalifah memerintahkan agar mereka dibunuh. Algojo mula-mula hendak memancung Raqqam tetapi Nuri meloncat, menerjang maju dan berdiri menggantikan Raqqam.
“Bunuhlah aku yang sedang tertawa-tawa bahagia ini terlebih dahulu,” kata Nuri.
“Belum tiba giliranmu.” Jawab si algojo, “sebuah pedang bukanlah sebuah senjata yang harus dipergunakan secara tergesa-gesa.”
“Jalanku ini berdasarkan kecintaan,” Nuri menjelaskan, “Aku lebih mencintai sahabatku daripada diriku sendiri. Yang paling berharga di atas dunia ini adalah kehidupan. Aku ingin memberikan beberapa saat kehidupan kepada Saudara-saudaraku ini, karena itulah aku ingin mengorbankan hidupku sendiri, Dunia ini adalah tempat berbakti di akhirat adalah tempat yang dekat kepada Allah, sedang untuk menghampiri-Nya harus berbakti kepada-Nya.”
Ucapan-ucapa Nuri ini disampaikan kepada khalifah yang menjadi sangat kagum karena ketulusan dan kejujuran Nuri itu. Maka diperintahkannya agar hukuman itu ditangguhkan dan persoalan mereka diserahkan kepada qadhi.
“Mereka tak dapat dituntut tanpa bukti-bukti,” si qadhi menjelaskan. Sesungguhnya si qadhi telah mendengarkan khotbah-khotbah Nuri dan mengetahui keahlian Nuri dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Maka berpalinglah ia kepada Syibli. “Akan ku tanyakan orang gila ini mengenai sesuatu bidang yang tidak akan sanggup dijawabnya,” ia berkata di dalam hati.
“Berapakah yang dizakatkan seseorang bila ia memiliki uang dua puluh dinar?.” Si qadhi bertanya kepada Sybli.
“Dua puluh setengah dinar,” jawab Sybli.
“Siapakah yang menetapkan zakat yang sebesar itu?.” Si qadhi menanya.
“Abu Bakar Sahabat Nabi yang agung,” Jawab Sybli, “Ia memberikan semua yang dimilikinya sebanyak empat puluh ribu dinar sebagai zakat.” Jawab Sybli.
“Ya, tetapi mengapakah engkau tadi menambahkan setengah dinar?.
“Sebagai denda.” Jawab Sybli, “Ia telah menyimpan uang dua puluh dinar dan oleh karena itu ia harus membayar setengah dinar sebagai dendanya.”
Kemudian si qadhi berpaling kepada Nuri dan mempertanyakan sebuah masalah hukum. Nuri segera memberi sebuah jawaban yang membuat si qadhi bingung, Nuri memberi penjelasan.
“Qadhi, engkau telah mengajukan semua pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi tak satu pun di antaranya yang penting. Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang berdiri karena Dia, yang berjalan dan beristirahat karena Dia, yang hidup karena Dia dan berdiam diri merenungi-Nya. Apabila sesaat saja mereka berhenti merenungi-Nya nisaya binasalah mereka. Melalui Dia mereka tidur, melalui Dia mereka makan, melalui Dia mereka menerima, berjalan, melihat, mendengar dan melalui Dia mereka ada. Inilah ilmu yang sesungguhnya, bukan yang engkau pertanyakan itu.”
Si qadhi terbungkam tak dapat berkata apa-apa. Kemudian ia mengirim surat kepada khalifah.
“Jika orang-orang seperti mereka ini dianggap sebagai orang yang tiada bertuhan dan bid’ah, maka keputusanku adalah bahwa seluruh dunia ini tiada seorang pun yang percaya kepada Allah Yang Maha Esa.”
Khalifah memerintahkan agar tahanan-tahanan itu di bawa ke hadapannya.
“Adakah sesuatu hal yang kalian inginkan?.” Khalifah bertanya kepada mereka.
“Ada” mereka menjawab. “Kami ingin agar engkau melupakan kami. Kami ingin agar engkau tidak memuliakan kami dengan restumu dan tidak mengusir kami dengan murkamu, karena bagi kami, kemurkaanmu itu sama dengan restumu, dan restumu itu sama dengan kemurkaanmu.”
Khalifah menangis dengan hati yang tersayat dan membebaskan mereka dengan segala hormat.
0 Response to "Jiwa.. Perang Terhadap Kaum Sufi -Muda Dan Karomahnya"
Post a Comment